Penundaan waktu penerbangan memang menyusahkan, baik penumpang, cabin crew, ground crew, maupun perusahaan penerbangan itu sendiri.
Saking seringnya, delay bahkan menjadi label maskapai besar yang punya slogan 'We make people fly' atau 'Fly is Cheap'.
Bahkan ada yang memelesetkan pemeo orang Jawa yang bilang 'murah kok minta selamat' menjadi 'murah kok minta tepat (waktu)'.
Apakah itu artinya membeli tiket pesawat murah maka bonus delay adalah wajar? Ini namanya logical fallacy.
Dalam matematika bisnis aviasi sipil, delay sebenarnya faktor X yang diupayakan untuk bisa dihindari oleh maskapai penerbangan.
Pasalnya, kerugian akibat delay yang ditanggung maskapai bisa mencapai Rp70 juta per jam per pesawat. Satu pesawat delay, maskapai harus mencari setidaknya 200 paket makanan. Belum lagi jika keterlambatan penundaan lewat dari 3 jam, maka maskapai harus mencari 200 kamar hotel untuk akomodasi atau memindahkan jadwal penerbangan. Ini bukan persoalan gampang.
Tetapi mengapa selalu delay? Pada beberapa kasus keterlambatan besar yang pernah terjadi a.l. karena migrasi sistem pada maskapai, gangguan operasional di bandara seperti insiden mati listrik di Soekarno Hatta pada awal tahun ini, dan faktor alam saat Gunung Merapi meletus.
Selain kejadian spesial itu, riak-riak delay masih terus terjadi. Apalagi, pada maskapai yang melayani rute-rute gemuk seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, dan Makassar.
Sebenarnya, ini juga tidak lepas dari pertumbuhan penumpang angkutan udara di Indonesia pada 2010 yang mencapai 22%, lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tren global sebesar 8,2%.
Pada fase euforia terbang ini, angka penumpang pesawat di Indonesia hampir dipastikan terus tumbuh. Maskapai murah (low cost carrier/LCC) ikut bermunculan. Transportasi udara jelas semakin padat.
Maskapai pun ditempatkan pada posisi kompetisi untuk berebut kue pasar. Namun, pada saat bersamaan, kendala operasional sedang tidak berpihak, khususnya kenaikan harga bahan bakar yang sempat di kisaran US$120 per barel.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (IATA) memperkirakan laba industri penerbangan justru anjlok hingga 78% pada 2010. Selisih keuntungan atau margin bisnis ini hanya tinggal 0,7%. Padahal, tahun sebelumnya masih berkisar 3,2%.
Untuk terus bertahan terbang, maskapai memeras keringat dengan mengoptimalkan armada. Manajemen operasional diatur sedemikian rupa dengan mengandalkan uang di muka yang dibayarkan penumpang dari pembelian tiket.
Satu pesawat pun tidak dedicated untuk satu rute khusus, tetapi dihitung seefisien mungkin untuk menghubungkan satu kota dengan kota lainnya.
Lion Air, dengan 80 pesawat, kini menguasai 48% pasar penumpang udara. Kuncinya jelas, optimalisasi utilitas pesawat dengan pengaturan terbang ke sejumlah kota.
Sementara, maskapai pelat merah, Garuda Indonesia, mengoperasikan sedikitnya 120 armada untuk melayani 51 kota tujuan.
Selain karena operasional maskapai, kepadatan lalu lintas penerbangan juga membutuhkan pengelolaan yang lebih komprehensif. Indonesia Slot Coordinator (IDSC) atau badan yang ditunjuk untuk mengelola slot time penerbangan bagi semua maskapai di bandara-bandara baru resmi diluncurkan pada 29 April 2011.
Badan ini diharapkan bisa mengoordinasikan kapasitas runway, terminal dan apron sehingga mengoptimalkan jadwal penerbangan. Dengan begitu, jumlah pesawat yang terbang di jam yang bersamaan bisa ditekan untuk menekan kepadatan.
Apalagi, bicara soal Soekarno-Hatta, lalu lintas penerbangan yang overload di sini ikut memperpanjang faktor penyebab delay. Dengan kapasitas tampung penumpang 22 juta orang per tahun, bandara internasional itu disesaki 40 juta orang pada 2010.
Tidak heran, pesawat bisa menunggu lepas landas di runway yang padat hingga 20 menit-30 menit lewat dari estimate departure time (ETD) yang ditentukan.
Konsekuensinya, delay 10 menit di rute pertama dipastikan memicu delay 20 menit di rute kedua dan seterusnya yang saling berurutan.
Untuk mengurai kepadatan itu, PT Angkasa Pura II, pengelola Soekarno-Hatta, baru akan menyelesaikan grand design pengembangan bandara pada akhir tahun ini. Dengan demikian, penambahan kapasitas tampung penumpang hingga 60 juta orang baru akan direalisasikan pada 2014.
Terlambat memang, karena pertumbuhan penumpang transportasi udara terus bertumbuh tanpa peduli pengembangan bandara baru akan selesai 3 atau 4 tahun lagi.
Selama itu, delay pasti akan tetap terjadi. Pada kondisi ini, pemerintah diharapkan untuk bisa tegas menindak maskapai bandel dengan UU Penerbangan. Penumpang pun perlu sedikit lebih cerdas untuk mengetahui hak-haknya jika delay terjadi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 25/2008, kompensasi untuk penumpang pesawat yang mengalami penundaan sudah ditentukan. Keterlambatan penerbangan 30-90 menit, maskapai wajib memberikan minuman dan makanan ringan.
Penundaan 90-180 menit, penumpang berhak mendapat makan siang atau makan malam dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan penerbangan berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang.
Delay lebih dari 180 menit, maskapai pun wajib menyediakan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya. Jika penumpang menolak diterbangkan akibat keterlambatan lebih dari 180 menit atau akibat pembatalan, maka maskapai wajib mengembalikan harga tiket.
Jika sudah begini, pilihan kembali ke tangan konsumen. Bisnis transportasi sejatinya adalah pelayanan semata. Namun, jika pelayanan tidak terlalu penting, low cost carrier pun bisa menjadi pilihan, tentunya dengan pertimbangan konsekuensi keterlambatan yang mungkin terjadi.
Direktur Umum Lion Air Edward Sirait pernah mengakui pesawat cadangan bisa saja disiapkan untuk mengantisipasi keterlambatan.
Namun, konsekuensi biaya produksinya akan terlalu besar sehingga pembebanan pada tarif di level konsumen juga akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang berlaku saat ini.
Sederet persoalan itu seakan menjadi pembenaran keterlambatan penerbangan. Jangan-jangan, nanti muncul pemeo baru di industri penerbangan; Biar selamat tapi terlambat.
(Tribunnews)