Maskapai penerbangan Lion Air digugat seorang penyandang cacat karena memberikan perlakuan yang diskriminatif kepada penumpang. Perlakuan tersebut berupa tidak memprioritaskan pengguna kursi roda hingga memaksa menandatangani surat perjanjian yang merugikan penumpang.
Kejadian tersebut bermula ketika Ridwan Sumantri (31), warga Pondok Bambu, Jakarta Timur, hendak terbang menuju Denpasar pada Senin 11 April 2011. "Pesawat terbang pukul 13.05 WIB. Saya sudah check in pukul 10.30 WIB atau 2,5 jam sebelumnya," kata Ridwan kepada wartawan di Pengadilan Jakarta Pusat, Jl Gajah Mada, Jakarta, Kamis, (29/6/2011).
Usai check in, Ridwan memulai merasakan adanya perlakuan diskriminatif. Awalnya, dia meminta tempat duduk bagian depan supaya tidak terlalu jauh digendong. Nyatanya, dia mendapat seat 23 A atau bagian tengah.
"Lalu saya juga bilang, mohon masuk pesawat yang pertama karena biar tidak mengganggu penumpang lain. Kan saya harus digendong. Itu pun tidak dilakukan," terang aktivis sosial difabel ini.
Tidak sampai situ, gate 1A yang dipindah ke gate 5 membuatnya harus kerepotan. Selain naik turun tangga, petugas juga tidak sigap membantu Ridwan. "Diskriminasinya sangat terasa ketika saya telah duduk," kisah Ridwan.
Diskriminasi tersebut yaitu dia dipaksa menandatangani surat sakit. Tercantum pula jika sakitnya menyebabkan penumpang lain sakit, maka dia yang harus menanggung. Dirinya sempat protes hingga penerbangan molor selama 40 menit.
"Di ujung pemaksaan, petugas Lion Air mengancam apabila tidak mau menandatangi surat sakit, maka dia harus turun," beber Ridwan.
Di eri pilihan tersebut, mau tidak mau dia menandatangai surat perjanjian. Selain itu dia juga ada pekerjaan penting di Denpasar yang tidak mungkin ditinggalkan. "Saya tidak sakit. Apakah karena saya memakai kursi roda, lalu saya sakit?" katanya.
Setelah memikirkan masak-masak, akhirnya dia melayangkan gugatan perdata kepada Lion Air, PT Angkasa Pura II dan Kemenhub. Ridwan menggugat ketiganya untuk meminta maaf di tiga media nasional, meminta Lion Air melaksanakan peraturan penerbangan internasional dan membayar ganti rugi immateril sebesar Rp 100 juta.
"Aturan penerbangan internasional jelas-jelas memberikan layanan utama bagi penyandang cacat. Kami tidak memikirkan berapa besarnya uang, tapi supaya Lion Air tidak mengulangi lagi perbuatannya. Oleh karena itulah kami menggugat lewat pengadilan," tuntas Ridwan.
(Detiknews)