Industri aviasi dan kebandarudaraan di seluruh dunia sangat terkait dengan terminologi keselamatan dan keamanan penerbangan. Demikian juga setiap kegiatan dan operasional di bandar udara, khususnya di area parkir pesawat atau sering dikenal dengan Apron atau Ramp area.
Mengacu kepada aturan yang berlaku, setiap orang yang berada di wilayah tersebut harus mengikuti tata tertib dan mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan penerbangan.
Dalam konteks keamanan bandara,ternyata ada budaya masyarakat kita yang masih belum bisa dihilangkan dan tampak kasat mata di lingkungan bandara yaitu, feodalisme dan arogansi. Hal ini bisa kita lihat mulai memasuki kawasan bandara berkelas internasional di Soekarno-Hatta sampai di berbagai daerah.
Parkir mobil pejabat dan instansi dari sipil sampai militer menguasai hampir semua lokasi parkir yang paling dekat dengan terminal. Bahkan jika perlu mendekat dengan pesawat udara yang membawa pejabat dan orang 'penting' yang membawanya.
Jika diperhatikan ternyata mereka ini adalah oknum protokoler yang sering mengabaikan teguran dari pihak aviation security. Bahkan, petugas keamanan bandara tidak bisa berbuat apa-apa kepada oknum protokoler ini karena arogansi dan membawa-bawa nama pejabat yang diantar atau dijemputnya.
Sangat ironis memang kalau petugas aviation security hanya diidentikan dan dianggap sebagai Satpam semata. Tidak jarang aviation security malah mendapatkan makian, bahkan dilecehkan ketika menegur petugas protokoler yang merasa lebih memiliki pangkat dan menggunakan seragam atau menggunakan pakaian safari ala bodyguard.
Pemberian izin kepada protokoler umumnya diberikan oleh pihak bandara. Di beberapa bandara juga tersedia fasilitas ruang tunggu VIP bagi para penumpang dengan kategori VIP. Yang jadi pertanyaan adalah, Apa katagori VIP bagi pihak bandara? Apakah setiap orang yang membayar sewa ruangan di VIP dapat dikatagorikan VIP dan menikmati perlakuan istimewa.
Keluhan juga diajukan maskapai dalam menyikapai banyaknya protokoler yang membuat mereka tidak nyaman bahkan dapat menghambat kelancaran penerbangan dan merugikan penumpang. Bukan sebuah rahasia lagi jika protokoler sering minta izin mengantar sampai pesawat dan mengganggu proses boarding.
Dalam suatu bandara, selain airport security juga terdapat airline security. Wilayah kewenangan dari masing-masing juga diatur oleh otoritas bandara. Umumnya wilayah pelataran parkir dimana pesawat parkir adalah area responsibility dari airline. Namun, saling tuding sering terjadi ketika kapten pilot menanyakan mengapa banyak sekali orang yang tidak dikenal ada disekitar pesawat dan tidak menggunakan tanda pengenal atau perlengkapan yang sesuai.
Pernah suatu waktu seorang kapten pilot diarahkan untuk parkir dekat dengan ruang tunggu VIP di suatu bandara di Sumatra, sehingga penumpang yang lain tidak menggunakan fasilitas aerobridge ketika naik dan turun pesawat. Ternyata penumpang penting tersebut adalah komisaris dari si pengelola bandara. Belum lama ini, peristiwa serupa terulang kembali. Sang pilot diarahkan untuk parkir didepan ruang tunggu VIP di bandara lain di Sumatra. Bedanya, penumpang penting kali ini adalah seorang pejabat imigrasi dari Jakarta, sementara hujan rintik-rintik dan penumpang harus berjalan jauh menuju terminal kedatangan.
Sungguh sampai demikiankah kehebatan protokoler ini yang dapat mengalahkan kepentingan publik atau hanya kelemahan pihak bandara yang tidak berusaha maksimal dalam melakukan sosialisasi keamanan dan keselamatan penerbangan. Ironis memang karena kenyamanan penumpang pun dikalahkan. (*)