UNTUK melaksanakan penerbangan navigasi yang baik, penerbang harus dapat menentukan posisi pesawat yang relatif terhadap permukaan bumi setiap saat. Terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menetukan posisi dalam ber-navigasi. Beberapa metoda itu adalah:
1. Pilotage Navigation
Sistem navigasi ini boleh dikatakan sebagai navigasi dasar karena sangat sederhana, yakni mempergunakan tanda-tanda di permukaan bumi yang mudah dilihat yang dapat dipakai sebagai patokan dalam bernavigasi. Tanda-tanda itu contohnya jembatan, sungai, danau, hutan, jalan raya, jalan kereta api, pabrik, lapangan terbang, bukit, dermaga kapal, dan lain-lain. Mudah sekali bukan? Seperti kita mengendarai mobil melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan dipandu tanda-tanda yang dapat kita manfaatkan sebagai patokan, sehingga akhirnya kita sampai ke tujuan.
2. Dead Reckoning Positioning
Teknik ini sedikit lebih advanced, karena penentuan suatu titik adalah hasil kalkulasi yang berupa waktu. Maksudnya, setelah titik/posisi pertama ditemukan, maka titik selanjutnya tidak sulit untuk ditemukan.
Dengan patokan waktu yang telah ditentukan, titik berikutnya dapat diposisikan juga, tentunya setelah diberikan koreksi kecepatan pesawat, dan koreksi arah pesawat. Kenapa mesti ada koreksi? Tentu saja, sebab terkadang arah dan kecepatan angin tidak selalu tegak lurus dengan arah pesawat. Terkadang datang dari samping kiri maupun kanan, sehingga penerbang harus menghitung efek angin itu terhadap arah penerbangan navigasi kita, agar arahnya tidak melenceng.
3. Radio Navigation
Cara ini pun juga semakin maju, karena memanfaatkan radio navigasi, yakni VOR/DME dan NDB. Apa pula ini?VOR adalah VHF Omnidirectional Range. VHF itu sendiri adalah Very High Frequency, gelombang radio dengan frekuensi sangat tinggi.
Sederhananya begini, suatu stasiun radio yang memancarkan gelombang yang sangat tinggi, berupa jari-jari atau radial yang sangat banyak, berjumlah 360 derajat. Omni artinya banyak/multi. Directional maksudnya arah. Seolah-olah seperti roda sepeda yang memiliki jeruji yang banyak, yang terikat pada pusatnya. 'Jari-jari' stasiun VOR tadi yang berupa radial adalah alat 'penuntun' penerbang untuk menentukan posisinya.
Apabila ditambah DME, maka semakin lengkaplah fungsinya, karena selain memberikan arah/posisi, juga memberikan informasi berupa jarak. DME artinya Distance Measuring Equipment,alat pengukur jarak pesawat itu ke stasion radio tersebut. Apabila suatu kali kita mendengar di radio komunikasi, penerbang melaporkan posisi sebagai berikut: …..' Position on Radial 245 inbound,distance 20 DME from 'DKI' VOR'….. itu berarti dia ada di radial 245 derajat menuju ke stasiun DKI (nama VOR bandara Soekarno-Hatta) dengan jarak 20 DME.
Sedangkan NDB (Non Directional radioBeacon ) adalah stasiun radio juga, tetapi tidak sekomplit VOR, karena tidak memancarkan radial (jari-jari) seperti VOR. NDB sudah jarang digunakan untuk navigasi jarak jauh, mengingat akurasinya yang rendah, meskipun masih tetap digunakan untuk tambahan sarana pendaratan pesawat di bandara.
4. Celestial Navigation
Sistem navigasi ini dulu sering dipakai oleh para pelaut. Laksamana Cheng Ho menggunakan sistem ini untuk mengarungi lautan di seluruh dunia. Sistem ini menggunakan posisi matahari, bulan, dan bintang-bintang, atau benda-benda di langit lainnya sebagai patokan posisi kapal di bumi.
5. Inertial Refference System (IRS) dan Global Positioning System (GPS)
Sistem inilah yang terkini dipakai untuk melaksanakan misi navigasi, baik navigasi udara maupun navigasi pelayaran. IRS ini adalah suatu sistem yang sangat canggih. Ia memerlukan masukan (input) pada saat awal hendak dipergunakan. Input itu berupa titik-titik koordinat posisi saat itu yang sudah ditentukan berdasarkan posisi relatif terhadap garis bujur dan garis lintang.
Pesawat terbang dewasa ini hampir dipastikan semua memakai GPS untuk penentuan posisinya. GPS ini juga mempergunakan patokan garis bujur dan garis lintang. Pesawat terbang yang canggih umumnya menggunakan IRS dan GPS bersama-sama agar semakin super akurat. Meskipun begitu, radio navigasi seperti VOR/DME tetap selalu dipergunakan sebagai bagian dari perlengkapan navigasi, yang statusnya adalah pelengkap ataupun sebagai cadangan seandainya GPS dan IRS tiba-tiba tidak berfungsi, karena suatu hal.
Apakah di langit terdapat jalan raya untuk pesawat terbang? Jawabannya memang ada 'jalan raya' untuk pesawat terbang. Tetapi 'jalan raya' itu tak terlihat secara kasat mata. Semacam jalan raya imajiner begitulah.
Jika kita hendak pergi ke Monas Jakarta, maka kita bisa melalui Jalan Merdeka Selatan. Jika hendak ke Bandara Soekarno-Hatta tanpa lewat tol, kita bisa melalui Jalan Daan Mogot.
Begitu juga dengan jalan raya pesawat terbang. Bila hendak terbang navigasi dari bandara Soekarno-Hatta ke bandara Ahmad Yani di Semarang, maka kita lewat jalan imajiner yang bernama W-45 (baca Whiskey Four Five).
Jika kita terbang navigasi dari bandara Ngurah Rai di Bali menuju ke Soekarno-Hatta di Jakarta, jalan imajiner itu bernama W-33 (Whiskey Three Three) lalu bersambung ke W-16 (Whiskey One Six). Jalanan imajiner tadi sebetulnya tidak lain adalah jari-jari atau radial dari radio VOR yang seperti dijelaskan di atas. Misalnya jika kita terbang dari Ngurah Rai ke Jakarta, maka radio VOR yang kita lewati adalah VOR Ngurai Rai sendiri, yakni BLI (baca Bravo Lima India), selanjutnya VOR Surabaya, SBR (Sierra Bravo Romeo), kemudian VOR Indramayu (IMU/India Mike Uniform), terakhir VOR Jakarta, yaitu DKI (Delta Kilo India), maka akhirnya sampailah kita mendarat di Soekarno-Hatta. (Sigit Sasongko)