Ia lalu membeli tiket Merpati tujuan Makassar via Sorong. Meskipun tiga hari sebelumnya, Sabtu (7/5), pesawat Merpati MA-60 yang melayani rute Kaim ana-Sorong jatuh di perairan Kaimana, tak menyurutkan langkahnya.
Pada Selasa (10/5) pagi, Andi pun berangkat ke Sorong naik pesawat MA-60, yang terbang perdana pascakecelakaan, sebelum melanjutkan perjalanan dengan pesawat Merpati yang lebih besar ke Makassar. Selasa sore, dia sudah tiba di Makassar mendampingi istrinya melahirkan.
Jatuhnya pesawat MA-60 yang digunakan Merpati, sama sekali tidak membuatnya takut menumpang pesawat. Bagi Abdullah, kecelakaan sudah menjadi kehendak Ilahi yang tak bisa dicegah manusia. " Dari dulu saya selalu pakai pesawat kalau mau ke luar Kaimana," ujarnya.
Begitu pentingnya kehadiran pesawat, tergambar dari ucapan seorangb warga lainnya. Sebagai pemilik warung makan di Kampung Baru Kaimana,Opik Elom (42) mengatakan harga kebutuhan pokok seperti telur dan cabai bisa mencapai 50.000 per rak dan 60.000 per kg, karena keduanya belum dihasilkan di Kaimana. Semuanya harus didatangkan dari Timika, Manado, atau Surabaya.
Kalau didatangkan dengan kapal putih (kapal penumpang) butuh waktu 2-7 hari, sehingga terkadang sebagian barangnya sudah rusak dan busuk. Jika dengan pesawat, akan lebih cepat sampai dan kualitas barangnya lebih bagus.
Pesawat adalah pilihan pertama, karena belum ada jalan penghubung dari Kaimana ke kabupaten/kota lain di Papua Barat. Sementara moda transportasi laut belum bisa diandalkan. Kapal laut hanya singgah dua kali dalam sebulan, bahkan bisa lebih lama, saat gelombang laut tinggi yang memaksa kapal melaju lebih lambat atau terpaksa berhenti berlayar sementara.
Waktu tempuh kapal pun lama. Dari Kaimana ke Sorong, yang masih di Papua Barat saja butuh waktu dua hari. Bisa dibayangkan jika harus ke kota-kota besar di Sulawesi atau Jawa. Bisa sampai sepekan waktu terbuang di kapal.
Apa yang terjadi di Kaimana merupakan potret terhambatnya mobilisai masyarakat di Papua Barat dan Papua, sebab antarkabupaten dan kota belum tersambungkan oleh jalan darat.
Tak dipungkiri, keberadaan pesawat penting dalam membantu korban bencana alam, seperti saat terjadi banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, pada Oktober 2010 lalu. Pesawat mempercepat pengiriman bantuan darurat sekaligus pengiriman personil guna membantu korban banjir.
Di Maluku, provinsi yang 90 persen wilayahnya berupa laut, moda transportasi udara pun menjadi tumpuan. Bahkan tidak jarang, calon penumpang harus membeli tiket jauh-jauh hari karena tiket kerap tak tersedia lagi. Hal ini karena pesawat bisa mempersingkat waktu tempuh dari kabupaten/kota di Maluku ke Ambon sebagai ibu kota Maluku, hingga tinggal 30 menit sampai 90 menit.
Manfaat pesawat, kata Marzel Kesaulya (33), warga Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, penting untuk mengantar warga yang sakit dan membutuhkan perawatan segera di rumah sakit di Ambon, atau kota besar lain di Indonesia. Meskipun terbebani dengan harga tiket yang di atas Rp 1 juta, warga pun rela merogoh kantongnya dalam-dalam.
Sebelum ada pesawat, dibutuhkan waktu hingga dua hari dari Dobo untuk bisa ke Ambon dengan menggunakan kapal laut. " Jumlah penumpang selalu di atas 85 persen dari kapasitas pesawat," ujar Kepala Dinas Perhubungan Maluku Benny Gaspersz, beberapa waktu lalu.
Lebih murah ke Jakarta
Dian Yasmin Wasaraka (29), warga Kaimana yang bekerja di Conservation International (CI) Indonesia, juga selalu menggunakan pesawat saat ada tugas ke luar Kaimana atau menjenguk keluarganya di Manokwari. Pesawat memudahkan dia menjalankan kerjanya. Namun, harga tiket pesawat dari Kaimana menuju kotakabupaten lain di Papua, tidak murah. Hal ini yang sering membuatnya sedih.
"Saya sering menangis kalau kangen ibu di Manokwari, tapi saya sedang tak punya uang untuk pulang untuk pulang. Saya ingin makan dodol durian buatan ibu saya," ujar Dian.
Sebagai gambaran, harga tiket pesawat Kaimana-Sorong sekitar Rp 1 juta sampai Rp 1,6 juta, harga tiket Kaimana ke Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, berkisar Rp 1,8 juta, dan dari Kaimana ke Ambon di Maluku harganya Rp 1,6 juta.
Mahalnya tarif pesawat rute terbang di Papua, ataupun rute penerbangan di wilayah Indonesia Timur bukan rahasia umum. Untuk jarak pendek, dengan waktu tempuhnya kurang dari 45 menit, tiketnya rata-rata di atas Rp 1 juta.
Jika dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia, jelas timpang. Bahkan, harga tiket Manokwari-Surabaya, sekitar Rp 1,5 juta, lebih murah dibandingkan rute Manokwari-Kaimana, meski jaraknya lebih jauh. Demikian pula harga tiket rute Ambon-Jakarta, berkisar Rp 900.000 sekali terbang.
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Papua, Acmad Rochani, mahalnya tarif tiket pesawat yang dibayarkan penumpang di Papua adalah bentuk kompensasi yang dibebankan maskapai penerbangan kepada para penumpangnya. Pihak maskapai sadar, terbang di wilayah Indonesia timur berisiko tinggi karena faktor cuaca, geografis, serta fasilitas bandara yang tak memadai.
Ketidaklayakan bandara, seperti landasan pendek dan sempit atau lokasinya yang sulit didarati, mengakibatkan sedikit maskapai yang berani mengambil risiko membuka rute penerbangan di Papua. Risiko transportasi pula yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok di kota/kabupaten kecil di wilayah timur Indonesia sangat mahal.
"Bukan hanya soal permintaan-penawaran, tetapi besarnya risiko itu yang diperhitungkan maskapai penerbangan, sehingga mereka mematok harga tiket yang mahal dibandingkan di wilayah Indonesia lainnya," kata Achmad.
Kian terbuka dan mudahnya mobilisasi penduduk dan barang, baik di wilayah Papua maupun Maluku, sebenarnya mempercepat pembangunan di wilayah timur Indonesia. Bupati Kaimana Mathias Mairuma, Jumat (13/5), mengatakan, masuknya Merpati dan maskapai penerbangan lain di Kaimana mampu mendorong percepatan pembangunan di kabupaten yang dimekarkan tahun 2003 itu.
Potensi-potensi alam, seperti perikanan, minyak dan gas bumi, mulai dieksplorasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Tak kalah menarik adalah wisata di Kaimana, seperti kemolekan senja di Kaimana dan alam bawah laut di perairan Pulau Triton dan Venu. Untuk mendatangkan wisatawan ke Kaimana harus didukung infrastruktur yang baik, salah satunya kelayakan bandara dan banyaknya penerbangan yang masuk ke sini, ujarnya.
Minim fasilitas
Sebelum MA-60 beroperasi melayani penumpang di Kaimana sejak 2 April lalu, warga di Kaimana telah menggunakan pesawat Dornier 328 milik maskapai Express Air berkapasitas 32 penumpang, ATR 72-500 milik Wings Air berkapasitas sampai 70 penumpang, atau pesawat casa yang dioperasikan Merpati, dan juga pesawat sewaan seperti Trigana, Travira, dan Susiair, untuk ke luar Kaimana. Hingga kini, belum ada lagi maskapai lain yang tertarik membuka rute ke dan dari Kaimana.
Koordinator Badan SAR Nasional, Letnan Jenderal Nono Sampono, menambahkan, sebagian besar bandara di wilayah timur Indonesia kondisinya tak layak karena minimnya fasilitas. Salah satunya, ketiadaan lampu landasan yang mampu memandu pesawat mendarat di siang hari dalam kondisi cuaca buruk.
Saat ini, hanya infrastruktur bandara di Jayapura, Sorong, Manokwari, dan Merauke, berfasilitas relatif memadai. Sementara lainnya, kondisi landasannya pendek, lokasinya yang terhalang gunung, serta ruang tunggunya terlalu sempit untuk menampung penumpang yang kian banyak, karena jumlah kian penumpang meningkat. Pengajuan pihak bandara untuk perbaikan fasilitas belum juga ditanggapi dari kantor pusat.
Selain sarana, kepiawaian pilot mengendalikan pesawat saat cuaca buruk pun patut terus ditingkatkan, terutama karena cuaca di kawasan timur Indonesia bisa sangat cepat berubah jadi ekstrem.
Pendeknya landasan dan medan yang penuh tebing dan gunung di kebanyakan bandara di timur Indonesia, bisa menyulitkan penerbang. " Jika cuaca tak memungkinkan, pilot seharusnya tidak memaksakan mendarat, dan memilih mendarat di bandara terdekat lainnya, kata Gagarin Moniaga, Kepala Bandara Utarom, Kaimana.
(Kompas)