Satu keluarga dari Suku Polahi yang ada di pedalaman Hutan Humohulo, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Banyak cerita mistis dan misteri mengenai kehidupan primitif mereka.
GORONTALO, Polahi adalah salah satu suku terasing yang masih hidup di pedalaman hutan Pulau Sulawesi. Keberadaan mereka terdata berada di sekitar Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo.
Beberapa puluh tahun lalu, keberadaan Polahi masih merupakan cerita mistis yang penuh misteri. Paling banyak cerita mengenai suku ini datang dari para pencari rotan yang mengambil rotan di Pengunungan Boliyohuto.
"Para pencari rotan sebelum saya, bercerita bahwa Polahi yang bertemu dengan mereka, selalu merampas barang-barang mereka. Mereka terpaksa menyerahkan makanan dan parang yang dibawa, karena kalau tidak Polahi bisa membunuh mereka," ujar Jaka Regani (48) salah satu pencari rotan yang ditemui di Hutan Humohulo, Panguyaman, Kecamatan Boalemo, Gorontalo, pekan lalu.
Dulu, Polahi tidak mengenal pakaian. Mereka hanya mengenakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau daun woka untuk menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, bagian dada dibiarkan telanjang, termasuk para wanitanya. "Tapi sekarang Polahi yang berada di Paguyaman dan sekitarnya sudah tahu berpakaian. Mereka sudah berpakaian layaknya warga lokal lainnya," ujar Rosyid Asyar, seorang juru foto yang meminati kehidupan Polahi.
Suku Polahi dianggap mempunyai ilmu kesaktian bisa menghilang dari pandangan orang. Mereka dipercaya punya kemampuan berjalan dengan sangat cepat, dan mampu hidup di tengah hutan belantara. "Dua puluh tahun lalu ada teman saya yang meneliti mengenai Polahi primitif sempat hidup bersama mereka selama seminggu. Menurut pengakuannya, ketika bertemu dengan Polahi primitif tersebut, matanya harus diusap dengan sejenis daun dulu baru bisa melihat Polahi," jelas Rosyid.
Kehidupan Polahi yang bertahan di hutan pedalaman Boliyohuto dan tidak mau turun hidup bersama dengan warga kampung, membuat cerita mistis mengenai mereka terus bertahan.
Menurut sejarah yang bisa ditelusuri, sejatinya suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada waktu penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan. Pemimpin mereka waktu itu tidak mau ditindas oleh penjajah. Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang artinya "pelarian."
Jadilah Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, turunan Polahi masih bertahan tinggal di hutan. Sikap antipenjajah tersebut terbawa terus secara turun temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah.
Keterasingan mereka di hutan membuat Polahi tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Turunan Polahi lalu menjadi warga yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Mereka juga tidak mengenal baca tulis serta menjadikan mereka suku yang tidak menganut agama.
Keterasingan itu semakin melengkapi misteri dan cerita mistis suku Polahi. "Awalnya kami takut bertemu dengan Polahi jika sedang berada di hutan mencari rotan, tetapi kini kami malah sering menumpang istirahat di rumah mereka ketika berada dalam hutan," kata Jaka.
Suku Polahi yang ditemui Kompas.com di Hutan Homohulo, Paguyaman, Kabupaten Boalemo, memang menepis sedikit cerita mistis dan misteri yang melingkupi mereka selama ini. "Kami sudah berpakaian sejak lama sekali, tidak lagi telanjang, sudah malu dilihat orang kalau turun ke kampung untuk ke pasar," ujar Mama Tanio, salah satu perempuan Polahi yang ditemui dalam bahasa Gorontalo dengan dialek khas Polahi.
Bahkan menurut Mama Tanio, tayangan sebuah TV swasta nasional beberapa waktu lalu yang memperlihatkan mereka dalam keadaan telanjang, tidak lagi murni seperti itu. "Baba Manio dibayar untuk telanjang waktu itu," aku Mama Tanio yang merupakan istri Baba Manio, Kepala Suku mereka.
Kini, walau belum menghafal sistem penanggalan modern dengan benar, Polahi di Hutan Humohulo setiap pekan turun ke pasar desa untuk menjual hasil kebun mereka dan berbelanja kebutuhan hidup mereka. Bahkan, para Polahi kini menawarkan jasa sebagai buruh angkut barang para penambang yang melewati permukiman mereka.
Pendekatan dari pemerintah untuk membuat mereka mengenal agama dan pendidikan memerlukan kajian yang tepat agar penanganan kehidupan sosial mereka tepat sasaran.
Pemerintah pernah menyediakan mereka lokasi Rumah Layak Huni (Mahayani) di Desa Bina Jaya dengan membangun sembilan rumah untuk mereka huni. Namun, Polahi lebih memilih kembali ke hutan. "Tidak tahan tinggal di kampung, panas sekali, dan kami tidak bisa berkebun," ujar Mama Tanio memberi alasan.
Kebiasaan primitif yang hingga kini masih terus dipertahankan turunan Polahi adalah kawin dengan sesama saudara. Karena tidak mengenal agama dan pendidikan, anak seorang Polahi bisa kawin dengan ayahnya, ibu bisa kawin dengan anak lelakinya, serta adik kawin dengan kakaknya.
Selain di Paguyaman, suku Polahi juga bisa ditemui di daerah Suwawa dan Sumalata. Semuanya berada di sekitar Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo. "Memang untuk bertemu dengan Polahi primitif nyaris mustahil, tetapi beberapa orang meyakini hingga kini masih bertemu dengan mereka," kata Rosyid lagi.
Sumber: kompas.com