Kewaspadaan terhadap obat palsu diingatkan kembali. Penelitian baru yang dilakukan oleh tim peneliti dari FKUI/RSCM menemukan 45 persen obat PDE5 Inhibitor atau Sildenafil keluaran PT Pfizer Indonesia yang beredar di pasaran merupakan obat palsu.
Hasil tersebut didapat dari riset yang dilakukan di empat wilayah di Indonesia, yaitu Jabodetabek, Bandung, Jawa Timur, yang terdiri dari kota Surabaya dan Malang, dan Medan. Riset ini dilakukan dengan menggunakan metode mystery shopping yang dilakukan pada berbagai macam tempat penjualan, termasuk apotek, toko obat, penjual obat di jalan, dan situs.
Riset yang disebut dengan Victory Project ini mengambil sampel sebanyak 518 jumlah tablet dari 157 tempat penjualan. Riset ini diketuai oleh peneliti dari FKUI/RSCM Profesor Akmal Taher selama tahun 2011 hingga 2012.
Hasil riset menunjukkan dari total jumlah tablet yang diuji menunjukkan obat palsu yang dijual oleh penjual pinggir jalan 100 persen palsu, toko obat 56 persen palsu, situs internet 33 persen palsu, dan apotek 13 persen palsu.
Sementara berdasarkan wilayah penelitian, di wilayah Jabodetabek dan Jawa Timur ditemukan jumlah obat palsu Sildenafil mencapai 50 persen. Sementara di Bandung dan Medan masing-masing mencapai 18 dan 20 persen.
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna Buenastuti, yang tidak terlibat dalam penelitian, mengatakan, hasil ini tidak dapat mewakili obat secara umum. Hal ini disebabkan penelitian hanya dilakukan sebatas pada obat disfungsi ereksi.
"Penelitian hanya berlaku pada obat yang mengandung Sildenafil," tandasnya dalam konferensi pers Kamis (2/5/2013) di Jakarta.
Dr Melva Louisa dari FKUI yang juga tidak terlibat dalam penelitian mengatakan, dari sisi kesehatan, obat palsu tentu berbahaya karena kandungannya tidak sesuai dengan obat asli.
"Kandungan senyawa aktif dalam obat palsu bisa kurang dari obat asli atau bisa berlebihan. Ada juga yang senyawa aktifnya tidak benar, bahkan kosong," paparnya.
Sumber: kompas.com
Efek dari obat palsu, lanjutnya, bisa beragam, di antaranya tidak cukup untuk menimbulkan efek obat, tidak memberikan efek sama sekali, menyebabkan kondisi pasien memburuk, memicu resistensi, bahkan untuk kasus parah menyebabkan kematian.