Perayaan Imlek semakin dekat, warga keturunan etnis Tionghoa mulai disibukkan dengan bermacam persiapan. Tak terkecuali Gie. Bocah berusia 14 tahun itu terlihat sangat antusias mempersiapkan Imleknya tahun ini. Gie dan adiknya Ayung asik membuat lampion dengan perpaduan warna merah dan emas.
"Ko, udah buat berapa lampion ?" tanya Ayung yang sore itu nampak cantik dengan kepang duanya.
"Baru 8, kau berapa ?" tanya Gie dengan tangan yang penuh lem kertas.
"Aku baru 2. Susah ya ternyata."
"Eh Yung, kita ajak Agus yuk. Di sekolah kan dia pintar di pelajaran keterampilan."
"Agus yang orang Jawa itu ko?"
"Iya."
Ayung mengangguk mantap. Lalu Gie meninggalkan Ayung dan menjemput Agus di rumahnya.
"Permisi..?!"
"Iya? Eh Gie, ayo masuk. Agus lagi di kamar tuh, ngambek." Ibu Agus mempersilahkan Gie masuk.
"Ngambek kenapa bu?" tanya Gie bingung.
"Entahlah nak, coba ditanyakan sendiri." Jawab ibu Agus dengan wajah menahan tawa.
Di dalam kamar Gie melihat Agus sedang tidur – tiduran seperti orang merajuk.
"Gus, kau kenapa?"
"Hei Gie, ah tak apa – apa." Jawab Agus malu – malu.
"Mau bantu aku nggak?"
"Ada apa?"
"Membuat lampion untuk imlek besok. Aku dan Ayung mendapat tugas dari mami. Mau kan?"
Air muka Agus berubah seketika. Ada senang luar biasa yang tak bisa disembunyikan disana.
"Yuk, sebentar ya, aku ganti baju dulu." Agus bangkit dari posisi tidurnya.
Lalu keduanya pun berangkat ke rumah Gie.
* * *
Dua hari sebelumnya …
"Bu, aku mau jadi orang Tionghoa !" ucap Agus tiba – tiba pada ibu saat sedang belajar.
"Lho ? kenapa ?"
"Orang tionghoa kok hidupnya senang terus? Pakaiannya bagus terus, sepatunya ganti setiap minggu, dan mobilnya bagus. Sementara kita? Semuanya serba pas. Apalagi mau Imlek begini, di rumah mereka banyak sekali makanan enak. Setelah itu mereka pasti akan berlibur keluar negeri." Agus menggerutu.
"Nak, kamu nggak boleh iri begitu. Rezeki sudah ada yang mengatur. Tidak cuma warga Tionghoa kok yang banyak uangnya. Masyarakat asli kita pun banyak yang kaya raya, itu karena apa? Karena mereka mau bekerja keras, berusaha serta berdoa. Kamu bisa seperti apa yang kamu mau asalkan kamu punya tekad dan mau bekerja keras. Sudahlah, sekarang kamu belajar saja. Menjadi anak pintar dan membanggakan ibu dan bapak."
Agus terdiam, ia masih saja belum puas dengan jawaban ibu.
* * *
Agus dan Gie sudah sampai di rumah Gie yang berukuran cukup besar itu. Nampak Ayung masih repot dengan lampion – lampionnya. Agus dan Gie langsung mengambil posisi di dekat Ayung. Agus cukup melihat cara membuatnya sekali saja dan ia langsung paham. Dalam hitungan setengah jam saja Aus sudah berhasil membuat 10 lampion yang sempurna.
"Eh ada Agus, wah terimakasih ya mau bantu Gie dan Ayung. Oh ya Gus, ibumu ada dirumah ?" tanya mami Gie yang tiba – tiba muncul dengan banyak barang belanjaan.
":Ya tante, ada di rumah. Ada yang bisa Agus sampaikan tante?"
"Tante mau pesan kue keranjang. Buatan ibumu enak yang tahun lalu. Jadi keluarga besar tante mau pesan lagi sama ibumu. Tante nggak sempat bikin kue."
"Baik tante, nanti Agus sampaikan."
Acara membuat lampion sudah selesai. Agus pulang kerumah setelahnya.
* * *
"Assalamualaikum,,"
"Waalaikumsalam, sudah pulang nak? Bagaimana tadi disana ?"
"Agus bantu membuat lampion bu, oh iya mami Gie tadi bilang pesan kue keranjang. Katanya buatan ibu yang tahun lalu enak."
"Oh ya? Alhamdulillah. Ada rezeki lagi buatmu nak. Tahun lalu juga saat kita lebaran, mami Gie mengirimkan kita banyak kue, karena ibu sedang sibuk dengan pesanan." Wajah ibu begitu sumringah. Ibu Agus memang terkenal pandai membuat kue. Banyak yang sudah menjadi langganannya.
Bapak yang sedang duduk sembari menikmati kopinya ikut angkat bicara, "Coba bayangkan kalau semua orang memperingati Imlek, siapa yang mau buat kue keranjang dadakan?"
Agus dan Ibu tertawa mendengar celoteh ayah.
* * *
Di hari H Imlek, banyak tamu berdatangan kerumah Gie, tak lupa keluarga besar Gie pun mengundang Agus dan keluarganya. Suasana merah begitu meriah. Kue – kue yang ada begitu membuat lapar mata, beberapa diantaranya adalah buatan ibu Agus. Agus ikut merasakan kebahagiaan di Imlek ini. Suka cita begitu kental terasa. Agus baru menyadari bahwa Imlek bukan hanya milik warga Tionghoa, tapi milik semua orang, termasuk dirinya.
Tiba saatnya berbagi Ang Pao. Agus memperhatikan anggota keluarga besar Gie yang belum menikah mendapatkan amplop merah tersebut satu per satu. Tanpa disadari ternyata namanya ikut terpanggil. Mami Gie memberikan sebuah amplop sembari membisikkan sesuatu di telinga Agus, "Gus, kalau semua disini adalah orang Tionghoa dan sibuk Imlek, berarti hari ini nggak ada kue – kue enak seperti yang ibumu buat."
Sebuah kalimat yang akhirnya membuat Agus tersadar bahwa perbedaan memang indah. Agus melihat kearah ibunya duduk, ibu tersenyum sembari mengedipkan mata. Agus tersenyum malu. Ia berjanji dalam hati, bahwa ia harus bangga menjadi diri sendiri dan dengan apapun yang ia miliki.
Selamat Imlek