Air bah tiba-tiba melanda sebagian wilayah kota Bekasi tadi malam, di saat cuaca cerah. Tak tanggung-tanggung, 'tamu tak diundang' ini masuk ke dalam rumah warga, hanya dalam hitungan beberapa menit saja. Ratusan rumah tenggelam, karena permukaan air sudah menyentuh atap rumah. Sebagian aliran listrik PLN padam. Warga semakin kalang-kabut, lantaran berebutan mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
Itu adalah sebuah gambaran yang terjadi di Perumahan Villa Jatirasa dan Perumahan Pondok Gede Permai, Jatiasih, Bekasi. Saya berusaha menulis untuk tidak mendramatisir suasana, meski fakta yang ada benar-benar dramatis. Banyak wanita dan anak-anak yang hanya bisa selamat dengan pakaian yang ada di badan. Banyak juga warga yang tak sempat menyelamatkan kendaraannya, akibat lebih mementingkan nyawa dan surat-surat berharga. Nyawa sangat utama di kala banjir. Tak peduli nyawa tetangga yang terjebak dan hanya bisa bertahan di atap rumah di gelapnya malam.
Sebenarnya, banjir di kota Bekasi memiliki karakter yang beda dengan banjir di Jakarta atau daerah lainnya. Jika banjir di kawasan Bukit Duri dan Kampung Melayu bisa diprediksi dengan kondisi ketinggian air di Bendung Katulampa Bogor, namun banjir di Bekasi sulit diprediksi. Tak ada early warning system bencana banjir di Bekasi. Curah hujan di kawasan hulu Bogor dan sekitarnya, bukanlah satu-satunya faktor ancaman utama banjir di Bekasi.
Menurut Taruna Siaga Bencana kota Bekasi, secara geografis terdapat sejumlah perumahan dan pemukiman warga yang rawan terkena banjir, yakni Villa Jatirasa, Pondokgede Permai, Pondok Mitra Lestari, Kemang Ivy, Komplek Depnaker, Deltamas, Perumahan Pekayon, Century, Pangkalan Bambu/Lottemart, RW 04 Sepanjang Jaya dan RW 26 Margahayu. Kesemua kawasan tersebut berada di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi, Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas.
Perumahan Bumi Nasio, Graha Indah dan Dosen IKIP yang pada 17 Januari 2013 turut tergenang, kali ini aman dari banjir. Padahal, ketiga perumahan ini berada di hilir Sungai Cikeas dan Kali Cakung.
Banjir di 10 perumahan dan pemukiman di kota Bekasi, kali ini dipicu oleh jebolnya tanggul sungai Pondok Gede Permai. Sebelumnya, tanggul ini pernah jebol pada banjir 17 Januari lalu, dan sudah diperbaiki secara semi permanen. Sayangnya, perbaikan tanggul dengan sistem bronjong (batu-batu yang disatukan dengan kawat), tak kuat menahan derasnya aliran air sungai. Apalagi ke-10 perumahan dan pemukiman tersebut, berada di daerah yang cukup rendah dari daerah sekitarnya. Konon, kawasan Jatiasih ini dahulu kala merupakan area persawahan, yang akhirnya disulap oleh pengembang menjadi pemukiman penduduk.
Pembuatan tanggul permanen dilakukan di era tahun 1980-an, ketika banyak pendatang membeli rumah. Kasawan ini semakin padat penduduknya. Tapi penataan kota dilakukan seadanya, tanpa memperhitungkan ruang hijau, sumur resapan, curah hujan tinggi dan ancaman 'banjir kiriman' dari daerah hulu.
Ada yang bembedakan penanganan banjir di Jakarta dengan kota Bekasi. Banjir besar di Jakarta pada 17 Januari lalu dipicu oleh jebolnya tanggul Kanal Banjir di jalan Latuharharry Menteng. Sejak hari itu hingga beberapa hari berikutnya, Gubernur Jokowi memantau langsung perbaikan tanggul. Jokowi menjadi mandor setiap hari, bahkan menyempatkan diri memantau perbaikan tanggul sebelum 'blusukan'. Jokowi juga berani memerintahkan penertiban papan reklame yang berada di dekat tanggul. Meski resikonya, pemasukan kas Pemda akan berkurang dari pencabutan papan reklame itu.
Jebolnya tanggul di kota Bekasi, bukan akibat papan reklame. Rencana awalnya 30 tahun lalu, tanggul ini 'hanya' untuk melindungi perumahan dan pemukiman dari rembesan sungai. Sepanjang 20 hingga 30 tahun terakhir ini, keberadaan tanggul-tanggul tersebut kurang mendapat perhatian. Pemda kota Bekasi hanya sebatas memperbaiki tanggul yang rusak dan tidak mengganti tanggul yang mampu menahan derasnya ailran sungai. Belum lagi, persoalan Pemda yang 'malas' melakukan normalisasi sungai.
Umur kepemimpinan Walikota Bekasi Rahmat Efendi (Pepen) baru seumur jagung setelah terpilih di Pilkada kota Bekasi, Desember 2012. Tapi, Pepen adalah inkumben, alias orang lama, karena sebelumnya menjabat wakil walikota Bekasi. Sudah seyogianya, Pepen lebih mengerti persoalan tata ruang Bekasi, jika dibandingkan Jokowi yang juga baru 100 hari lebih memimpin Jakarta.
Menurut saya, tidaklah salah Pak Walikota meniru Jokowi. Sebagai birokrat lama, Pepen seharusnya tak usah malu-malu belajar dari Jokowi, yang sigap mengatasi banjir ibukota. Malah, kalau perlu, Pepen menjadi kapala daerah pinggiran Jakarta pertama, yang menjalin kerjasama dengan Jokowi dalam rangka upaya mengatasi banjir. Kerja sama yang harus lebih konkrit daripada sebatas undangan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan ke Jokowi, beberapa waktu lalu. Saya percaya, jika hal ini dilakukan Pepen, maka Jakarta dan Kota Bekasi akan secepatnya memiliki strategi besar mengatasi banjir. Dengan kerjasama ini, saya berharap, kapala daerah di Bogor dan Tangerang juga turut bergabung, untuk sama-sama mengatasi banjir. Kalau tak dimulai dari sekarang, terus mau sampai kapan?
Penulis : Jhonny Sitorus