Sudomo di rumahnya, Jakarta, 6 Maret 2008. dok. TEMPO/ Bismo Agung
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari memoar Sudomo yang terbit di Majalah Tempo pada edisi 27 Juni 2011.
***
Ombak pagi itu lumayan besar. Rombongan Presiden tengah berada di laut sekitar Kepulauan Seribu, Jakarta. Saat itu Presiden Soeharto mengajak mancing tamunya, Kanselir Jerman Helmut Kohl. Namun, ikan di dekat Pulau Edam rupanya tak bersahabat dengan pemancing dari Jerman. Saya yang berada di kapal berbeda terus mengamati dan menjaga. Lalu saya nyeletuk. "Jangan-jangan Pasukan Katak di bawah menyabet ikannya."
Ternyata celetukan itu sampai ke telinga Tien Soeharto melalui ajudan. "Bener ya, Pak Domo, di dalam sana ada Pasukan Katak yang sudah nyiapin ikan untuk dipancing?" Saya menjelaskan, celetukan itu kelakar saja. Tak lama, saya dipanggil Soeharto dan ditanyai soal Pasukan Katak itu. Saya kembali menjelaskan, itu hanya canda. Soeharto tak memperlihatkan wajah marah, malah tersenyum.
Saya hampir selalu menemani aktivitas Soeharto. Dalam menjalankan hobi bermain golf, Soeharto selalu mengikuti aturan. Bila ia main terlalu lambat, misalnya, orang lain boleh menyalip. Tapi saya dan pengawal selalu mengingatkan pegolf lain, jangan sampai melewati Soeharto. Kalau ada pegolf yang main lambat, saya juga mengingatkan supaya cepat.
Saya sebenarnya bisa bermain golf, tapi jarang bermain bersama Soeharto karena harus mengawal. Saya menjadi Ketua Umum Persatuan Golf Indonesia selama 26 tahun. Lazimnya, ketua umum menjabat lima tahun dan paling lama dua periode. Mungkin karena tidak ada yang berani menjadi Ketua Umum Persatuan Golf Indonesia pada zaman itu.
Banyak orang membicarakan kesetiaan saya kepada Soeharto. Profesor Donald Wilson dari Amerika Serikat memberi saya julukan Indispensable Man. Dia mengatakan Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo adalah titik tambahan positif bagi Presiden Soeharto. Dalam buku Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983, David Jenkins menyebut saya sebagai anak emas Soeharto bersama Letnan Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Benny Moerdani, dan Jenderal Yoga Soegama.
Pernah menjalani operasi militer bersama membuat saya kenal dekat dengan Soeharto. Dalam operasi pembebasan Irian Barat, saya menjadi Panglima Angkatan Laut Mandala, di bawah Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto. Tulisan di beberapa media menyebut karier saya sangat bergantung pada Soeharto. Penilaian itu tak salah. Bisa jadi, kalau Soeharto tak melesat hingga menjadi presiden, saya mungkin hanya menjadi kopral.
Saya selalu ingat nasihat Soeharto yang berbunyi ngelurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Jadi, kalau bertempur, jangan sampai yang kalah kehilangan muka. Saya selalu memetik beragam falsafah tinggi yang disampaikan Soeharto. Dengan pengenalan itu, saya menilai Soeharto bukan seorang otoriter. Dia hanya menerapkan disiplin militer serta falsafah Jawa.
Nasihat Soeharto selalu saya terapkan baik dalam perjalanan karier maupun kehidupan sehari-hari. Saya berkarier di militer lebih dari 50 tahun dan mengecap bintang empat selama 12 tahun. Saya masih dipercaya masuk Kabinet Pembangunan IV sebagai Menteri Tenaga Kerja pada 1983. Selanjutnya Menteri Koordinator Politik dan Keamanan periode 1988-1993.
Saya sebenarnya sudah mengajukan pensiun setelah menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, tapi Soeharto menolak. Ketika proses pembentukan Kabinet Pembangunan V pada 1988, saya pergi ke Puncak. Saya mendapat telepon dari ajudan presiden untuk hadir di Jalan Cendana, kediaman Soeharto. Saya terlambat sejam. Lalu Soeharto meminta saya bersedia menjadi Menteri Koordinator Polkam karena dianggap perwira bintang empat paling senior. Saya tertegun karena tak menyangka akan dipercaya memegang jabatan sangat tinggi.
Menteri Koordinator Polkam bertugas memelihara stabilitas nasional. Selama menjadi menteri, saya selalu membuka ruang dialog, termasuk dengan kelompok Petisi 50, yang dipimpin Ali Sadikin. Mereka meminta penjelasan karena tak diperbolehkan bepergian ke luar negeri ketika saya menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.
Saya menawarkan kepada anggota Petisi 50 agar membuat surat permohonan maaf tertulis kepada Soeharto. Persoalan akan dianggap selesai dan dilupakan. Ali Sadikin dan kawan-kawan menolak, meskipun ada beberapa yang memanfaatkan tawaran itu. Pengamat politik Deliar Noer mengatakan dialog merupakan upaya positif sehingga memperkuat solidaritas sosial menuju keterbukaan dan demokrasi.
Lima tahun saya menjadi Menteri Koordinator Polkam dengan segala dinamikanya, kemudian saya kembali diminta Presiden menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Ketika pertama kali menjabat, saya berbicara di media mengenai suksesi kepemimpinan nasional. Saya sebenarnya hanya mengatakan suksesi tak perlu dipermasalahkan meskipun pemilihan umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah dekat.
Dalam beberapa kali pertemuan dengan saya, Soeharto mengatakan sadar jabatannya sudah terlalu lama. Ukuran negara berkembang itu, kepala negara paling lama menjabat 20-an tahun. Pak Harto tahu kapan harus berhenti, tapi tak bisa karena rakyat memilihnya. Keputusan berhenti juga akan dianggap lari dari perjuangan.
Pada 1994, saya pernah mengajukan berhenti dari Dewan Pertimbangan Agung karena kasus Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Ketika itu, saya dikaitkan dengan kasus pembobolan Bapindo karena memberikan referensi kepada Eddy Tansil. Kasus ini bermula dari rapat Dewan Perwakilan Rakyat dengan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono. Anggota DPR, Arnold Baramuli, mempersoalkan kredit untuk bos Golden Key Group, Eddy Tansil alias Tan Tjoe Hong, dengan nilai total Rp 1,3 triliun.
Kasus Bapindo meluas dan serangan tak henti-hentinya tertuju kepada saya selama tiga bulan. Saya menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan kasus ini. Sekalian saya menyatakan bertanggung jawab dan mengajukan permohonan berhenti sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Peristiwa ini seperti mengulang pertempuran Laut Arafuru. Saya bertanggung jawab dan mengajukan pengunduran diri. Soeharto menolak dan meminta saya menyiapkan mental menghadapi pengadilan.
Saya menyatakan siap diperiksa pihak berwenang untuk menjernihkan kasus. Pada 27 Juni 1994, saya menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pengadilan, saya mengaku memberikan referensi lisan atas permintaan Eddy Tansil pada 19 Juni 1989. Ketika itu saya menjabat Menteri Koordinator Polkam.
Di pengadilan, saya menjelaskan referensi bukan dipakai supaya Bapindo melakukan penyimpangan meski selalu ada peluang disalahgunakan. Saya pernah memanggil dan menegur Eddy Tansil, tapi tak mempan. Pengadilan akhirnya menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara.
Kasus Bapindo sudah jernih meski Eddy Tansil kabur pada 1996. Saya kembali bertugas di Dewan Pertimbangan Agung sampai benar-benar bisa melepaskan jabatan politik pada usia 72 tahun. Keputusan pensiun itu hanya 16 hari sebelum Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Saya sudah mengalami semua jabatan penting di negeri ini, kecuali presiden dan wakil presiden.
(tempo.co)