Ilustrasi warga mengungsi Masjid Baiturrahman Banda Aceh (Foto: Reuters)
Gempa berkekuatan 8,5 Skala Richter di Aceh pada Rabu 11 April lalu, menjadi sorotan para ahli. Secara magnitude, gempa ini merupakan yang terbesar pascagempa dahsyat 9,1 SR yang mengguncang Aceh pada akhir 2004 lalu.
Meski demikian gempa yang bertitik pusat di barat daya Kabupaten Simuelue, Aceh, itu tidak menimbulkan kerusakan masif, seperti terjadi pada gempa dan tsunami 2004.
Saat gempa 2004, bumi Serambi Mekah itu luluh lantak, ratusan ribu orang tewas. Lalu timbul pertanyaan, mengapa gempa besar kali ini tidak merusak?
Peneliti Bidang Dinamika Bumi dan Bencana Alam Pusat Penilitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Hananto. Menurut Nugroho, gempa pada 11 April sore terjadi di kedalaman 10 hingga 30 kilometer di oceanic basin atau kerak samudera yang jaraknya sekira 120 kilometer luar zona subduksi di Sumatera. Zona subduksi adalah pertemuan lempeng Indoaustralia dan lempeng kontinental Eurasia.
Dia menambahkan, gerak gempa pada 11 April lalu bersifat bergeser bukan turun-naik, meskipun ada beberapa komponen yang turun.
"Sehingga tidak membuat tsunami besar," ungkap Nugroho.
Karena di zona subduksi, energi gempa harus melewati banyak material dasar laut termasuk meloncati zona subduksi.
Energi gempa tersebut melewati batuan yang memiliki daya antar energi berbeda, sehingga gelombang gempa bisa diserap. Karena energi lebih banyak diserap material di bawah laut sehingga getaran gempa pada 11 April 2012 lalu tidak sebesar gempa 2004.
Sampai di daratan, lanjut dia, kekuatannya diperkirakan sebesar IV MMI.
Sebaliknya, jika media atau energi gempa tidak terhalang material seperti bebatuan keras, energi gempa akan dirasakan sangat kuat.
Dia melanjutkan, energi gempa di kerak samudera melewati jalan berbeda-beda. Gempa harus masuk ke dalam zona subduksi berupa remukan sedimen, batuan kerak samudra, sehingga bisa jadi meredam getaran yang dirasakan.
Sedangkan jarak pusat gempa dari muka subduksi mencapai 120 kilometer.
"Gempa 11 April selain jauh juga ada faktor lain yang memperlemah energi. Energi gempa 11 April berhenti di muka subduksi itu," jelasnya.
Karena itu Nugroho berkesmpulan, gempa pada 11 April berbeda dengan kasus pada 2004 yang terjadi di megathrust dalam zona subduksi 30 kilometer di bawah laut.
"Jadi yang kita bicarakan dua kasus berbeda. Antara April 2012 dan gempa Aceh 2004 itu dalam dua sistem berbeda," tegasnya.
Dampak jangkauan juga berbeda. Pada 2004 MMI dan tsunami yang terjadi sangat besar hingga pulau Andaman di Samudera hindia.
Energi gempa Aceh 2004 menjalar lewat patahan-patahan yang kuat sehingga menghasilkan MMI hebat. Meski getaran sudah menjangkau 1.300 meter dari titik pusat gempa, energinya tetap masih kuat.
Patahan tersebut, jelas dia, disebut West Andaman Fault yang mengarah ke utara. Pascagempa 2004, LIPI mencatat kegempaan susulan hingga tiga bulan kemudian, meski hanya berskala kecil.
Dia meyakini dengan peristiwa gempa 11 April lalu membuktikan, sumber gempa di Aceh tidak hanya satu. Kerak samudera juga berpotensi menyebabkan gempa besar meskipun dampaknya relatif kecil di daratan.
Namun dari mana pun sumber gempanya, masyarakat diimbau tetap waspada. Menurutnya mengukur kekuatan getaran gempa tidak bisa hanya dengan berpatokan jauh atau tidaknya titik pusat gempa dengan daratan.
"Masih ada potensi gempa lain yang mungkin kita belum kenal. Masyarakat harus patuh pada otoritas yang ada dan tetap waspada," pungkasnya.
(okezone.com)