Perasaan Sarah Widyanti Kusuma tak karuan saat pilot tiba-tiba mematikan mesin di kokpit. Meski jantung rasanya mau copot, wanita yang terakhir kali naik pesawat saat TK itu sekuat tenaga menahan panik. Pasrah menghadapi moncong pesawat yang siap menghujam daratan.
Wanita kelahiran 3 Maret 1988 itu tak akan pernah lupa saat-saat menegangkan yang menentukan kariernya. Saat melewati tes mental penerimaan siswa penerbang Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug.
"Jika saat itu saya muntah atau menunjukkan panik berlebihan, saya mungkin nggak akan jadi pilot," ujarnya saat ditemui VIVAnews di kediamannya, Graha Raya Bintaro Jaya, Tangerang, akhir pekan lalu.
Pada awal 2007, Sarah menjadi satu-satunya siswa wanita yang lolos dalam seleksi penerimaan calon pilot di sekolah itu. Selama dua tahun dua bulan, ia belajar mengemudikan pesawat. Dan begitu lulus, langsung menerima pinangan sebagai pilot Garuda Indonesia.
Kariernya di maskapai penerbangan terbesar di Indonesia itu cukup mulus. Tak cuma menjelajah kota-kota di pelosok Nusantara, tapi juga mendapat kepercayaan terbang ke China, Perth, dan sejumlah kota di Asia Tenggara. Jam terbangnya sudah 1.500 jam.
Tantangan di Udara
Menggeluti profesi di lahan yang didominasi pria jelas penuh tantangan. Cibiran tak hanya datang dari lingkungan kerjanya, tapi juga dari penumpang. Banyak penumpang yang merasa was-was begitu mengetahui pilotnya seorang wanita.
Tak ambil pusing, Sarah justru menerima cibiran itu sebagai pelecut semangat. "Aku buktiin minimal dari landing, karena itu yang paling terasa kan sama penumpang. Dan, akhirnya mereka merasakan kalau ternyata pilot perempuan bisa lebih bagus," ujarnya.
Sarah Widyanti KusumaJam terbang menjadi proses pembuktian diri. Merengkuh segudang pengalaman melewati berbagai rintangan. Mulai terbang di tengah cuaca ekstrem hingga mendaratkan pesawat di landasan pendek dan berteknologi rendah.
Dari puluhan bandara yang ia singgahi, Malang yang paling membuatnya paling tertantang. Selain landasan pendek, lokasinya dikelilingi gunung dan bukit.
"Kalau pengalaman paling menegangkan waktu mau landing di Yogyakarta. Kami harus melewati satu area dengan kondisi cuaca ekstrem yang membuat pesawat berguncang cukup kencang. Tapi, akhirnya kami bisa landing dengan baik," ujarnya.
Mimpi Astronot
Jalur karier pilot menjadi pilihan setelah merasa sulit mewujudkan mimpi menjadi astronot. Tamat SMA tahun 2005, ia mantap mengikuti seleksi penerimaan siswa baru di STPI Curug. Terpaksa memilih jurusan teknik pesawat lantaran jurusan pilot tengah vakum.
Mimpi barunya menggeluti dunia penerbangan nyaris kandas. Ia tidak lulus. "Saya sempat freelanche dan kerja serabutan, lalu mencoba kuliah di Fikom UPI YAI. Hingga akhirnya tahun 2006 mencoba daftar lagi jurusan penerbangan di Curug yang kembali diaktifkan."
Sembari tetap kuliah, ia menjalani serangkaian tes masuk yang berlangsung hampir satu tahun. Mulai tes akademik, psikologis, kesehatan, hingga terakhir yang paling menentukan, tes bakat. Sempat dilema mengingat tes bakat berlangsung bersamaan dengan ujian semester.
Mereka yang lolos masuk tes bakat harus menjalani karantina selama satu minggu. Hari pertama mendapat teori singkat di kelas tentang teknik mengemudi pesawat dan dunia penerbangan. Hari kedua, keluar kelas untuk melihat langsung fisik pesawat dan panel-panel di kokpit.
Hari ketiga, langsung tes menerbangkan pesawat bersama seorang instruktur. "Take off dan landing jatah instruktur, tapi di atas kami diminta yang pegang kendali selama 30 menit. Gimana belok, naik, atau turun, dan terakhir sebelum landing sesi tes mental tadi," ujar sulung dari empat bersaudara ini.
Perjalanan panjang itu akhirnya berbuah manis. Prestasi yang mencorong mengantar Sarah menjadi pilot sejak usia 21 tahun. Merupakan satu dari lima pilot wanita di Garuda Indonesia saat ini. "Asal gigih menjalankan sesuatu dengan maksimal dan profesional, pasti bisa," ujar wanita yang tengah merintis peluang menjadi seorang instruktur penerbang ini.
(VIVAnews)