Sydney : Di sebuah pasar di Chongjin, sebuah kota di ujung pantai Korea Utara. Seorang pramusaji mengaku dipaksa untuk menyajikan hidangan khusus bagi para pekerja, untuk dimakan sambil menenggak alkohol: masakan daging manusia.
Pikiran bahwa suatu saat nanti ia akan terpaksa memakan daging manusia, jadi kanibal, menghantui benak pria itu. Ia kemudian nekat melarikan diri dari Korut, susah payah, hingga kemudian berhasil menetap di Australia.
Dalam wawancara eksklusif dengan News.com.au, pria itu, Sung Min Jeong (44) mengisahkan perjalanannya kabur yang penuh penderitaan, dan menguak fakta mengerikan tentang negaranya yang menututup diri dari dunia.
"Jika aku tidak lari dari Korut, aku mungkin akan makan daging manusia," kata Jeong, melalui penerjemah, seperti dimuat News.com.au, Rabu (17/4/2013).
Kehidupan Jeong di Korut awalnya baik-baik saja, ayahnya adalah seorang tentara, yang berasal dari China. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana, satu lantai, di sebuah kota industri. Keluarga itu menanam sendiri sayuran seperti bayam dan kentang di halaman belakang.
Namun, hidup di Korut di dekade 1980-an sampai 1990-an adalah pengalaman mengerikan, menghadapi sejumlah depresi -- baik ekonomi maupun emosional. Antara 1995-1997, ketika kelaparan melanda Chongjin, Jeong mengaku melihat jasad-jasad bergeletak di jalanan kota.
Kemudian diikuti masa duka berkepanjangan. Selama bersekolah 4 tahun di sekolah dasar, Jeong dan semua anak di Korut diajarkan bahwa pendiri Korut, Kim Il-sung adalah "manusia setara dewa".
Saat Kim Il-sung kemudian meninggal. Negeri kecil itu dilanda duka mendalam. Semua warga diminta bergabung dalam sesi menangis publik -- semua orang harus menangis. Dan meski ia tak merasakan simpati, Jeong toh akhirnya bergabung dengan rekan-rekannya yang lain. Ikut bercucuran air mata.
Apalagi, karena ayahnya berlatar belakang militer, ia kerap membaca koran asing di rumah teman-temannya yang kaya, atau terkadang sembunyi-sembunyi mendengarkan radio Korsel. Saat beranjak dewasa, ia mukai berjualan, alkohol juga tembakau, di pasar gelap.
Disiksa
Jeong hidup sebatang kara di Korut. Orang tuanya meninggal akibat penyakit. Satu-satunya kakaknya, Sun Hwa Jeong juga meninggal dalam usia belia.
Jeong melarikan diri pada tahun 2003. Lewat jalan ini: di sejumlah area, Sungai Tumen -- yang berada di perbatasan China-Korut, hanya selebar sekitar 10 langkah. Hanya perlu berlari atau berenang untuk melintasinya.
Namun, melakukannya tak semudah yang dibayangkan. Perbatasan itu amat berbahaya di musim dining atau malam hari. Aparat Korut juga senantiasa berjaga -- meski di siang hari mereka kerap terlalu sibuk hingga tak sempat mengawasi tapal batas.
Sisi lemah itulah yang dimanfaatkan Jeong. Saat aparat lemah, ia melintasi sungai. Jeong sempat tinggal di perbatasan, berbaur bersama pelarian Korut lain dan penduduk lokal. Ia bahkan menemukan cinta. Namun, Pemerintah China tak senang dengan keberadaan para imigran gelap, mereka menangkap Jeong pada tahun 2004, di sebuah kereta.
Polisi China menjadikannya bulan-bulanan, memukuli dan menginjaknya. Jeong juga dipenjarakan selama 20 hari. China kemudian menyerahkannya kepada Korea Utara lagi, di mana dia menghabiskan satu bulan di sebuah kamp konsentrasi.
Ia berhasil lari, dan kemudian tertangkap, lengannya digorok hingga ia tak sadarkan diri di rumah sakit. Dengan belas kasihan petugas keamanan China, ia berhasil lari dan pada tahun 2011 mendapatkan suaka ke Australia. Tiba untuk kali pertamanya di Sydney.
Namun, Jeong kini terancam dideportasi dari Australia ke Korea Selatan. Padahal ia tak ingin ke sana. Alasannya, warga Korut kerap teraniaya tinggal di negeri tetangga itu. Apalagi mata-mata Korut berkeliaran di sana.
Pengadilan federal akan menyidangkan kasusnya pada tanggal 30 April 2013, tepat di hari ulang tahunnya ke-45. Lewat hukum, Jeong ingin hidup damai di Australia.
Bukan Kali Pertama
Kisah warga Korut terpaksa jadi kanibal bukan kali pertamanya terjadi. Warga negeri paling tertutup dan terisolasi di muka bumi itu diduga beralih ke kanibalisme, untuk bertahan hidup dari kelaparan akibat terbatasnya bahan pangan yang dipicu paceklik.
Januari lalu, Sunday Times mengabarkan, seorang ayah dilaporkan dieksekusi regu tembak, setelah ia ketahuan membunuh dan memakan dua anaknya sendiri, selama kelaparan tahun 2012 -- yang diduga menewaskan ribuan rakyat Korut.
"Ketika istrinya pergi kerja, pria itu membunuh putri tertuanya. Karena putranya memergoki tindakannya, ia akhirnya membunuhnya," demikian dilaporkan informan tersebut pada AsiaPress, seperti dimuat South China Morning Post, Senin (28/1/2013).
Saat istrinya pulang ke rumah, lelaki itu menawari makanan -- masakan daging yang mustahil ada saat kelangkaan pangan. "Kita sekarang punya daging," kata dia pada pasangannya. Namun istrinya yang curiga melapor ke aparat, yang belakangan menemukan bagian tubuh dua anak pasangan itu di atap rumah.
Sumber: liputan6.com