Oleh Agung Setyahadi
Roberto di Matteo membawa kehangatan cinta keluarganya ke dalam ruang ganti Chelsea. Ia menebarkan kepercayaan diri kepada setiap pemain "The Blues". Di Matteo menjadi seorang ayah dan sahabat bagi skuad Chelsea.
Aura kehangatan yang memancar dari seorang Di Matteo telah mengembalikan permainan Chelsea yang solid. Mantan gelandang yang masuk dalam daftar pemain legendaris The Blues itu memimpin 21 laga fantastis sebagai pelatih sementara, menggantikan Andre Villas- Boas yang dipecat Maret.
Di Matteo meraih 13 kali kemenangan, dua di antaranya melahirkan gelar juara Piala FA dan Liga Champions. Di Matteo menempatkan Chelsea di antara klub top Eropa.
Di Matteo berhasil mengembalikan permainan Chelsea melalui pendekatan yang simpatik kepada para pemain. Ia meredakan ketegangan di ruang ganti akibat strategi permainan Villas-Boas yang jarang memainkan para pemain senior, seperti Frank Lampard, Ashley Cole, dan Didier Drogba. Kelihaian Di Matteo bernegosiasi dengan ego personal seperti itu terasah dalam keluarganya. Ia juga belajar bagaimana bangkit dari keterpurukan.
Di Matteo adalah seorang ayah yang hangat. Ia mencintai keluarganya dan selalu berusaha menjadi ayah yang baik bagi putri dan putranya. Dukungan dan motivasi dari istrinya yang berkebangsaan Inggris serta anak-anaknya selalu menjadi inspirasi baginya untuk bangkit dari keterpurukan.
"Keluarga adalah sumber kekuatan saya," ujar mantan gelandang Chelsea itu kepada Henry Winter, penulis olahraga senior The Telegraph.
"Saat saya pulang ke rumah, keluarga menghadirkan senyuman di wajah saya," ujar Di Matteo.
Ia menyadari bahwa dirinya adalah seorang ayah, tetapi juga pemain sepak bola yang menyita hampir 80 persen waktunya. Oleh karena itu, bagi Di Matteo, keluarga layak mendapatkan 20 persen waktu yang tersisa.
Ia dekat dengan anak-anaknya dan berusaha dikenal buah hatinya hanya sebagai ayah, bukan karena profesinya sebagai pemain atau pelatih sepak bola.
"Saya ingin mereka memandang saya sebagai seorang ayah," ujar Di Matteo. Saat pelatih yang menguasai bahasa Inggris, Italia, dan Jerman itu memimpin Chelsea melawan Bayern Muenchen di final Liga Champions, Minggu dini hari WIB, anak-anaknya menyaksikan dari tribun stadion.
"Saya sangat senang mereka datang. Tetapi, saya berharap mereka bangga terhadap saya bukan karena (hasil final Liga Champions) Sabtu. Saya ingin mereka bangga karena memandang saya dan ibu mereka sebagai orangtua yang baik," ujar Di Matteo.
Kehadiran keluarga dengan cinta dan kasih sayang telah menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam hidup Di Matteo. Ia pernah terpuruk ketika dirinya berjuang selama 18 bulan dengan cedera patah tulang saat membela Chelsea menghadapi klub Swiss St Gallen pada September 2000. Ia akhirnya memutuskan pensiun pada tahun 2002, saat dirinya berusia 31 tahun, karena tidak mungkin bermain dalam level tertinggi saat pulih.
Namun, Pelatih Chelsea Claudio Ranieri memberinya kesempatan memimpin Chelsea di final Piala FA 2002 melawan Arsenal dari tepi lapangan. Ini merupakan perpisahan bagi Di Matteo yang berakhir dengan kekalahan Chelsea 0-2.
"Kami kalah dan saya pikir itu merupakan akhir karier saya sebagai seorang manajer," ujar Di Matteo.
Kekalahan 10 tahun lalu itu dibayar lunas oleh Di Matteo musim ini. Ia kembali berperan sebagai pelatih sementara. Namun, kali ini ia mempersembahkan Piala FA setelah Chelsea menundukkan Liverpool 2-1 di Stadion Wembley.
Setelah pensiun sebagai pemain, Di Matteo fokus meneruskan pendidikan pelatih di pusat pelatihan milik Asosiasi Sepak Bola Inggris. Ia kemudian melatih klub League One, Milton Keynes Dons, dan mengakhiri liga di peringkat tiga pada musim 2008/2009.
Di Matteo kemudian membawa West Bromwich Albion promosi ke Liga Primer. Ia dipecat setelah dinilai gagal membawa West Brom tampil kompetitif di Liga Primer musim 2010- 2011.
Empat bulan tanpa pekerjaan diisi Di Matteo dengan berkeliling Inggris mempelajari variasi gaya permainan klub-klub. Ia memperdalam pengetahuannya mengenai sepak bola Inggris. Motivasi untuk belajar dan memperbaiki kemampuan selalu tertanam dalam dirinya.
Mantan pemain Lazio itu mengasah karakter pribadinya di lingkungan pekerja di Schaffhausen, kota kecil di Swiss. Di Matteo lahir di sana 42 tahun lalu dalam sebuah keluarga imigran Italia. Ayahnya harus pindah ke Swiss untuk bekerja di perusahaan baja. Ibunya bekerja sebagai tenaga kebersihan di sejumlah perkantoran.
Pemuda dengan alis tebal melengkung itu gemar bermain sepak bola. Ia terus berlatih saat dirinya mengambil diploma di bidang administrasi bisnis. Tidak ada yang istimewa dalam masa-masa muda Di Matteo.
"Saya kira saya akan menjadi pegawai bank jika tidak bermain sepak bola," ujar Di Matteo.
Mimpi menjadi pemain sepak bola terus tumbuh. Ia mendambakan bermain di level profesional, seperti para pemain Liga Italia yang ditontonnya setiap Sabtu di televisi. Ia sering menonton pertandingan Juventus untuk menyaksikan duet maut Michel Platini dan Zbigniew Boniek.
Di Matteo memulai karier sebagai pemain sepak bola profesional bersama klub Swiss Schaffhausen pada 1988. Ia kemudian memperkuat Zurich dan Aarau sebelum diboyong klub Serie A Lazio. Ia kemudian pindah ke Chelsea tahun 1996 dan menorehkan sejumlah prestasi. Ia pernah menjadi pencetak gol tercepat di final Piala FA 1997 saat menundukkan Middlesbrough 2-0. Ia kembali membawa Chelsea juara Piala FA 2000.
Kini, Di Matteo telah menjadi pelatih dan mempersembahkan gelar pertama Liga Champions dalam 107 tahun sejarah Chelsea. Bagi Di Matteo, prestasi ini adalah awal dari rencana berikut sebagai pelatih: liburan panjang bersama keluarga yang telah memberinya kehangatan cinta.