Secara resmi dan faktual belum terbukti, dua agen rahasia KGB (Rusia) dan CIA (Amerika Serikat), beroperasi di Indonesia. Akan tetapi entah mengapa, kecelakaan pesawat buatan Rusia, Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100), dicurigai sebagai bukan kecelakaan biasa.
Kecelakaan Sukhoi disebut-sebut akibat sabotase tangan-tangan ahli. Para ahli itu adalah agen rahasia (CIA) yang kebetulan sedang beroperasi di Indonesia. Spekulasi ini tentu masih membutuhkan konfirmasi. Spekulasi ini tidak lepas dari adanya sebuah rujukan.
Sebuah buku tentang CIA (Central International Agency) yang terjemahannya diterbitkan oleh Gramedia dua tahun lalu, menyebut sejumlah diplomat AS yang pernah bertugas di Jakarta, merupakan agen CIA. Secara tidak langsung pengungkapan itu mengindikasikan, bahwa agen CIA tentunya sedang dan terus beroperasi di Indoneisa. Stapleton Roy misalnya yang menjadi Dubes AS di Indonesia dari 27 Februari 1996 hingga 12 Agustus 1999, di usia mudanya merupakan seorang agen CIA.
Yang belum diungkap adalah KGB. Hanya saja, di era Perang Dingin, sering disebut bahwa wartawan TASS dan Pravda, dua buah Kantor Berita resmi pemerintah Uni Sovyet (Rusia), yang ditempatkan di luar negeri, berfungsi ganda yakni wartawan dan agen rahasia KGB.
Menurut berbagai literatur, pasca Perang Dingin, operasi KGB dan CIA sudah mengalami banyak perubahan. Pasca-Perang Dingin yang menjadi fokus sasaran adalah ekonomi dan persaingan bisnis. Persaingan militer dan politik, sudah bukan lagi prioritas.
Sehingga masuk akal bila bisnis jual beli pesawat terbang antara Sukhoi (Rusia) dan Boeing serta General Aerodynamics (AS) merupakan lahan persaingan kedua agen rahasia tersebut.
Nah, isu kehadiran agen rahasia AS dan Rusia dalam kaitan dengan kecelakaan SSJ 100, sengaja diangkat menjadi sebuah wacana. Sebab hanya beberapa jam setelah terjadi kecelakaan, muncul berita-berita yang mencurigai penyebab kecelakaan itu. Disebutkan kecelakaan 9 Mei 2012 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat itu merupakan bentuk persaingan bisnis antara AS dan Rusia.
Tegasnya, sabotase itu berkaitan dengan persaingan bisnis di industri penerbangan antara kedua negara, dimana kedua pemerintah mendukung dan melindungi bisnis dan industri mereka masing-masing.
Enam bulan lalu tepatnya November 2011, pabrikan pesawat terbang AS, Boeing menanda-tangani jual beli 230 unit kepada Lion Air, perusahaan penerbangan swasta Indonesia. Nilai kontraknya sebesar Rp19,5 triliun. Bagi pabrikan Boeing demikian pula pemerintah AS, kontrak triliunan rupiah, sangat penting dan bersejarah.
Oleh sebab itu seremoninya dilakukan di Bali, saat KTT Asia Timur dilaksanakan, sengaja dihadiri Presiden AS Barack Obama dan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Artinya bobot bisnis dari kontrak itu diperkuat oleh bobot politik melalui kehadiran dua presiden.
Kontrak Boeing yang bernilai US$200 miliar itu diakui Obama sebagai hal positif dalam konteks kerja sama Indonesia-Amerika Serikat. Sebab kontrak itu akan membuka ribuan lapangan kerja baru bagi para pencari kerja di Amerika Serikat.
Selain Boeing, pemerintahan Obama juga mengamankan bisnis jual beli pesawat tempurnya. Indonesia sudah diizinkan Amerika Serikat untuk menambah koleksi jet tempur terbaru F-16. Tapi di luar itu, Indonesia masih mendapatkan hibah sebanyak 24 buah F16. Pesawat militer ini buatan General Aerodynamics.
Hibah 24 buah pesawat tempur itu, tidak penuh. Sebab Indonesia masih harus mengeluarkan biaya perbaikan sekitar Rp6 triliun. Jet-jet tempur itu perlu diperbaiki lagi karena kondisinya dalam keadaan tidak bisa diterbangkan.
Hibah dan penambahan beberapa unit pesawat baru F-16 serta kontrak pembelian 230 unit pesawat buatan Boeing ini, nampaknya merupakan satu paket bisnis AS di Indonesia. Seolah ada pesan dari Washington agar Jakarta jangan lagi berpikir atau tergoda dengan pesawat buatan pabrikan lainnya. Apalagi buatan non-Amerika seperti Rusia.
Tapi nampaknya Indonesia masih tergoda. Sebab sekalipun Indonesia sudah mendapat hibah, bahkan embargo militer sudah dicabut Washington, tetapi Indonesia masih terus melanjutkan pembelian pesawat sejenis dari Rusia.
Bagi AS, Sukhoi merupakan merek dagang yang menjadi saingan berat industri sejenis. AS tahu bahwa Indonesia sudah membeli 6 buah Sukhoi, masih berencana membentuk beberapa squadron. Bahkan squadron itu semuanya terdiri atas armada Sukhoi.
Kenyataan ini merupakan sebuah peluang sekaligus saingan bisnis bagi negara (AS dan Rusia) dan fabrikan manapun. Kebetulan total anggaran Indonesia untuk belanja Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan Strategis) sudah diumumkan. Bahwa untuk Alutsista dan kebutuhan lainnya, pemerintah RI mengalokasikan dana sebesar Rp190 triliun. Siapapun pasti tergiur dengan bisnis ini. Baik Putin maupun Obama.
Rencana penambahan jet tempur Sukhoi belum lagi mereda, tiba-tiba muncul aktivitas lain, bahwa Sukhoi sudah memproduksi pesawat komersil. Sejumlah perusahaan penerbangan swasta Indonesia bahkan telah memesan puluhan unit.
Mengemukanya kecurigaan bahwa kecelakaan itu diakibatkan oleh sabotase, antara lain akibat adanya reaksi Presiden Rusia Vladimir Putin. Bekas agen KGB itu kelihatan sangat marah atau terpukul. Melalui telepon, Putin minta Presiden SBY melakukan penyelidikan atas kecelakaan di Gunung Salak. Putin kelihatannya tidak percaya begitu saja bahwa kecelakaan itu wajar. Sukhoi bagi Putin merupakan salah satu ikon Rusia.
Tapi selain itu, SSJ 100 dimaksudkan untuk menguasai pasar Eropa, wilayah terdekat Rusia. Untuk itu anatomi pesawat ini, tidak semuanya menggunakan onderdil Rusia. Melainkan kombinasi antara Rusia dan pabrikan Eropa Barat.
Tetapi akibat kecelakaan itu, bukan hanya konsumen Eropa dan Indonesia yang berpikir ulang, melainkan tingkat kepercayaan atas teknologi Sukhoi dan Rusia terkontaminasi. Kecelakaan itu bakal membuat Rusia maupun Sukhoi memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh pasar pembeli di dunia. Dan terbentuknya persepsi itu berkat operasi agen-agen terlatih entah dari pihak mana.
Bagaimana membuktikannya, memang tidak gampang. Sebab Kotak Hitam SSJ 100 itu sendiri yang diharapkan bisa membuka tabir penyebab kecelakaan, justru disebut-sebut sudah hangus terbakar. Sehingga kemungkinan memperoleh data dan fakta penyebabnya, menjadi berkurang.
Kabar lainnya, Kotak Hitam itu tidak akan diserahkan kepada Rusia, melainkan tetap ditahan di Indonesia. Tidak jelas apakah hal ini juga bagian dari pertarungan antara Rusia dan AS. Namun bila benar kecelakaan itu diakibatkan oleh sabotase, maka pekerjaan itu sangat efektif dan sempurna.
Kesempurnaannya semakin bertambah. Sebab dipilihnya Indonesia sebagai tempat sabotase, sangat kalkulatif. Maklum kecelakaan di negara berpenduduk 240 juta jiwa ini dengan 17.000 pulaunya, bukan lagi hal yang mengejutkan. Hampir setiap waktu terjadi kecelakaan. Tidak pernah ada yang berpikir bahwa kecelakaan itu ada juga yang disengaja atau sabotase.
(Inilah.com)