Partai Keadilan Sejahtera akhirnya resmi memberikan dukungannya kepada pasangan calon Gubernur nomor urut satu, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli untuk pemenangan dalam putaran kedua Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Deklarasi dukungan yang dinyatakan Sabtu (11/8) di kantor DPP PKS, Jl. TB Simatupang, Jakarta Selatan. Dalam deklarasi hadir Presiden PKS Lufti Hasan Ishaq, Anggota Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid ,Triwisaksana dan Ketua DPW PKS DKI Jakarta, Selamet Nurdin.
Pasangan calon Gubernur Foke-Nara juga terlihat hadir dalam deklarasi. Selamet Nurdin menjelaskan, alasan PKS mengusung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli untuk maju sebagai gubernur DKI Jakarta mendatang adalah karena kesamaan pandangan didalam ideologi khususnya dalam pandangan syariah Islam. "Kami mengutamakan kepada kesatuan umat," ujar Selamet.
Sementara mantan Cagub PKS yang tak lolos Hidayat Nur Wahid menegaskan pilihan partainya mendukung Foke-Nara bukan karena masalah agama. Dikatakannya, PKS mendukung Foke-Nara karena pasangan tersebut dapat mengakomodasi program kerja yang sebelumnya diusung Hidayat-Didik. "Pertimbangan putaran kedua ini bukan masalah agama tapi terkait dengan kepastian kemampuan mereka untuk mengakomodasi program kerja yang kami perjuangkan pada waktu pilgub," ujar Hidayat di tempat yang sama.
Setelah PKS menyatakan dukungan, maka pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi mendapat perkuatan pendukung, selain Partai Demokrat, PAN, PPP, PKB, Hanura, Partai Golkar dan terakhir PKS. Sementara pasangan Jokowi-Ahok mendapat dukungan utama PDIP dan Gerindra. Apakah Jokowi-Ahok akan kalah? Nah, penulis mencoba membahas posisi terakhir parpol dan secara khusus keputusan PKS tersebut.
Setelah mengikuti deklarasi dukungan, Foke semakin yakin bahwa dirinya akan memenangkan Pilgub putaran kedua. Menurutnya hal itu tentu diiringi oleh kerja keras untuk dapat memenangkan kursi nomor satu di Jakarta ini."Sudah barang tentu kita harus bekerja keras untuk meraih kemenangan. Saya bersyukur mendapat dukungan partai. Tapi yang lebih berperan penting adalah suara rakyat," kata Foke.
Dalam hal ini sebagai incumbent, Foke sangat menyadari bahwa dalam perhelatan perebutan kursi Gubernur DKI, yang sangat berpengaruh adalah suara rakyat. Kita lihat pada putaran pertama Pilgub, Pasangan independen (tanpa partai), Faisal Basri-Biem Benyamin mendapat dukungan 215.935 suara (4,98%), mengalahkan pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono yang didukung partai kondang Golkar dan PPP, hanya memperoleh dukungan 202.643 suara (4,67%). Fakta ini menunjukkan bahwa konstituen Jakarta jauh lebih fokus dan tertarik kepada figur yang dipilih.
Lantas, bagaimana dengan putaran kedua? Langkah Foke-Nara dalam melakukan lobi politik dapat dikatakan berhasil mempengaruhi tokoh parpol, terlihat Golkar DKI Jakarta dan kini PKS Jakarta dan PPP juga berhasil dia tarik ke fihaknya. Memang kebesaran Partai Demokrat dan PKS sebagai jawara pada pemilu 2009 di DKI Jakarta tidak diragukan, tetapi dalam pemilihan pemimpin di DKI Jakarta ada hal lain yang perlu mendapat perhitungan dengan lebih teliti. Perhitungan tersebut didasari dengan kata "perubahan dan harapan." Perubahan yang dimaksud adalah merubah tatanan kehidupan di Jakarta yang dinilai warganya menjadi "sumpek." Nah, mereka kini mencoba mencari alternatif pemimpin baru yang bisa memberikan harapan tadi.
Pemilih Jakarta jauh lebih cerdas dibandingkan pemilih di daerah lain. Pada putaran pertama, terlihat komposisi pemilih mengerucut kepada Jokowi-Ahok sebagai tokoh sederhana, kelas lokal, kemudian pemilih kedua kepada incumbent. Sementara calon lainnya berada jauh dibelakang perolehan suara keduanya. PKS yang dalam pemilu 2009 suaranya 18 persen lebih, kini hanya di apresiasi11,72 persen. Sedang dalam Pilkada tahun 2007, jago PKS Adang Darajatun-Dani Anwar mendapat dukungan 42,3 persen dan lawannya Foke-Priyanto memperoleh dukungan 57,87 persen.
Ini menunjukkan bahwa figur sangat menentukan. Komjen Adang Darajatun dan kader PKS Dani Anwar berhasil menarik minat kader PKS dan simpatisan lainnya. Pada pilkada 2012, kenapa saat tokoh besar PKS maju sebagai Cagub, mereka hanya mendapat apresiasi 11,72 persen? Kemana suara PKS itu, apakah ada kejenuhan dikalangan kader dan simpatisannya?Atau mereka terpengaruh figur lain?
Nah, pada putaran kedua ini, nampaknya kasus seperti pilkada di Jawa Barat pada Tahun 2008 bisa terjadi juga di DKI. Saat itu, pasangan incumbent Danny Setiawan-Mayjen TNI Iwan Sulanjana (mantan Pangdam Siliwangi), serta pasangan Jenderal TNI (Pur) Agum Gumelar (Mantan Menko Polkam)-Nu'man Abdulhakim (Wagub Jabar) runtuh ditangan pasangan Heryawan-Dede Yusuf. Danny demikian kuat di dukung Golkar dan Partai Demokrat, sementara Agum diusung PDIP, PPP,PKB , PBB, PKPB, PBR dan PDS, sedangkan Heryawan hanya didukung PKS dan PAN. Yang dapat dilihat dari kasus tersebut adalah kejenuhan rakyat Jawa Barat terhadap pemimpin senior yang pernah diisukan terlibat masalah. Danny Setiawan tersentuh kasus korupsi. Karena itu pasangan muda sederhana Heryawan-Dede Yusuf yang dinilai banyak pihak tidak ada apa-apanya mendadak menjadi idola konstituen Jabar.
Kondisi psikologis masyarakat Jakarta yang heterogen terutama didominasi penduduk dari etnis Jawa baru etnis Betawi. Ini jelas ada pengaruhnya, selain itu Jokowi yang tokoh lokal namanya menjadi besar, karena kesederhanaannya, memberi harapan masyarakat dengan pengabdian dan kejujuran. Itulah kekuatan pasangan Jokowi-Ahok. Kebosanan rakyat terhadap pemimpin yang terlalu besar dan sok kuasa tapi mereka nilai tidak ada hasilnya telah membuahkan hasil seperti kasus Jabar-1 pada 2008. Akankah Foke nasibnya sama dengan Danny Setiawan? Foke pernah tersentuh kasus di KPK dan dilaporkan justru oleh wakilnya, walau kemudian dapat diredam, tetapi hal seperti ini sangat terekam penduduk Jakarta.
Sebuah informasi menarik yang penulis peroleh dari salah satu tokoh parpol besar, bahwa secara diam-diam partainya telah melakukan survei internal untuk mengukur elektabilitas Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, dikatakannya Jokowi kini mendapat apresiasi persepsi publik sekitar 60 persen dan Foke mendapat 40 persen. Dengan demikian mereka perkirakan lebih optimis Jokowi akan menang di DKI dengan perhitungan angka antara 60-70 persen. Disinilah kesimpulan penulis, nampaknya langkah PKS merupakan sebuah blunder politik dalam mendukung Foke.
Akan tetapi, kita tidak tahu secara pasti, apa yang melatar belakangi keputusan PKS tersebut. Ini politik bung, kata teman penulis, kepentingan diatas segala-galanya. Yang jelas kepentingan perorangan dan kelompok. Kalau partai kan hanya sebuah kendaraan politik, banyak kok yang lompat kendaraan saat mereka nilai sudah tidak ekonomis lagi. Yah, begitulah. Selamat datang di Jakarta Mas Jokowi, Heryawan juga dulu hanya anggota DPRD DKI dan penduduk Jakarta, toh jadi Jabar-1. Secara bodon, penulis semakin yakin Jokowi akan menang ya? Apa pendapat pembaca? Maaf Bang Foke-Nara kalau baca ini, anak Kemayoran ini hanya mengulas fakta saja kok. Sori-sori Bang.
Penulis : Prayitno Ramelan, www.ramalanintelijen.net
Ilustrasi Gambar : metropolitan.inilah.com