Ilustrasi pengungsi banjir
Di tengah membanjirnya bantuan bagi korban banjir, terselip kisah-kisah miris, bahkan yang membuat marah. Ada pengungsi banjir menolak bantuan karena tidak sesuai selera.
”Saya dan tetangga tahun lalu sengaja mengumpulkan uang untuk membeli bahan-bahan makanan bagi korban banjir di sekitar tempat tinggal kami. Namun, mereka menolak dan meminta makanan jadi saja biar praktis,” kata Sartono, warga Cipinang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Warga di lingkungan tempat tinggal Sartono pun kemudian membuat dapur umum dadakan dan memasak semua bahan kemudian diwadahi dalam kotak-kotak yang bersih dan rapi. ”Namun, kami terkejut. Ketika kami datang bawa nasi kotak, korban banjir tanya lauknya apa. Mereka terlihat tidak berkenan dengan lauk-pauk dan nasi dari kami. Sumbangan kami tidak disentuh,” tuturnya.
Sartono dan para tetangganya hanya bisa terdiam walau marah luar biasa. Meski sederhana, Sartono menjamin nasi serta lauk dari mereka terjamin rasa dan kualitas gizinya.
Ratih, warga Sentul, Bogor, yang kebetulan berada di sekitar Cawang, Jakarta Timur, akhir pekan lalu terbengong-bengong menyaksikan beberapa korban banjir membuang nasi dan lauk-pauk yang diambilnya dari dapur umum di posko dinas sosial di kawasan itu.
”Dia ambil terus dimakan sedikit, lalu dibuang juga di dekat posko itu semuanya. Gila, sudah tidak dimakan, buang sembarangan. Makanan yang dibuang menumpuk, lho. Berarti banyak yang perilakunya seperti itu. Nanti yang membersihkan relawan di situ juga. Parah banget,” ungkapnya.
Pasokan baju pantas pakai untuk korban banjir menemui nasib sama. Terkadang, karena dianggap jelek, pakaian bekas itu pun hanya teronggok menggunung selama berhari-hari tanpa ada yang menyentuh.
Seorang warga di Bukit Duri, awal pekan lalu, mengatakan, setelah berhari-hari rumahnya kebanjiran dan hidup di pengungsian, ia tentu bosan dengan mi instan, telur, nasi bungkus, dan pakaian yang buruk.