Selama ini, dokter umum merupakan istilah yang digunakan untuk dokter dapat mengobati semua penyakit dan paling mudah dijumpai di layanan kesehatan primer seperti puskesmas ataupun klinik. Namun, dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), istilah tersebut akan ditiadakan.
"Ke depannya tidak ada lagi dokter umum, melainkan diganti dengan dokter layanan primer," ujar Manajer Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Pradana Soewondo dalam Quo Vadis Dokter Indonesia, Sabtu (11/1/2014) di Jakarta.
Kendati demikian, lanjut dia, dokter layanan primer tidaklah sama dengan dokter umum. Sebaliknya, dokter layanan primer memiliki tingkat kompentensi yang lebih tinggi dibanding dokter umum dan setara dengan dokter spesialis.
Pradana menjelaskan, untuk mendapatkan kompetensi sebagai dokter layanan primer, dibutuhkan pendidikan lanjutan seperti halnya dokter spesialis. Namun, dengan mengharuskan setiap dokter yang memberi pelayanan di tingkat primer mengambil pendidikan lanjutan, sebelum praktik dokter membutuhkan waktu yang lebih panjang dari sebelumnya.
"Dari yang semula sejak tahap akademik hingga internship membutuhkan tujuh setengah hingga delapan tahun, dengan adanya pendidikan lanjutan mungkin akan lebih panjang lagi," kata Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI ini.
Karena itu, Pradana menekankan pentingnya pendidikan non-formal seperti sertifikasi dan pelatihan-pelatihan. Langkah ini bermanfaat untuk menambah jumlah dokter layanan primer dengan waktu yang relatif cepat, mengingat program JKN sudah berjalan.
Menurut dia, perlu dibuat revisi pendidikan dokter sehingga dalam jangka waktu lima hingga lima setengah tahun saja, tahap akademik, profesi, hingga internship bisa selesai dan dilanjutkan dengan pendidikan dokter layanan primer.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar di Bidang Kesehatan Masyarakat Sudarto Ronoatmodjo mengatakan, diperlukan pembentukan standar kompetensi pendidikan dokter layanan primer dengan segera. Pasalnya, tidak mungkin selamanya pendidikan dokter layanan primer hanya diperoleh melalui jalur non-formal.
"Di tahun 2014 sampai 2019 mungkin pendidikan dokter layanan primer bisa diperoleh melalui jalur non-formal. Namun, selebihnya perlu ada pendidikan formal dengan standar kompetensi yang jelas sehingga targetnya pada 2030 jumlah dokter layanan primer sudah cukup dengan kualitas yang baik," paparnya.
Sementara itu, kendati tingkat kompetensi dokter layanan primer setara dengan dokter spesialis, tetapi jenis kompetensi keduanya berbeda. Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia Sugito Wonodirekso menjelaskan, kompetensi dokter layanan primer meliputi kontak pertama dan langsung dengan pasien dapat mendiagnosis semua macam penyakit, gejala penyakit, usia, kelamin, dan ikut berperan dalam pencegahan penyakit secara umum.
Sedangkan dokter spesialis hanya menindak penyakit-penyakit tertentu yang sesuai dengan spesialisasinya. Dokter spesialis juga perlu kompeten dalam melakukan tindakan invasif terhadap pasien.
"Sebagai contoh, dokter layanan primer boleh saja mempelajari tentang jantung hingga tingkat molekuler, tetapi tetap tidak boleh melakukan tindakan kateterisasi. Yang berwenang melakukannya adalah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah," terangnya.
Sumber: kompas.com